Tasawuf merupakan salah satu aspek Islam, sebagai perwujudan dari ihsan, yang berarti kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung seorang hamba dengan Tuhan-Nya.
Dalam dunia tasawuf, seseorang yang ingin bertemu dengan-Nya, harus melakukan perjalanan dan menghilangkan sesuatu yang menghalangi antara dirinya dengan Tuhan-Nya, yaitu dunia materi. Dalam tasawuf sikap ini disebut zuhud.
Zuhud dalam tasawuf menempati posisi sebagai maqam. Dalam posisi ini ia berarti hilangnya kehendak, kecuali berkehendak untuk bertemu dengan Tuhan. Dunia dianggap penghalang (hijab) bertemunya seseorang dengan Tuhan dan karena itu ia dianggap sesuatu yang berlawanan arah dengan-Nya. Dalam kaitan ini zuhud bersifat doktrinal dan a historis.
Zuhud yang dilakukan oleh Hasan al-Basri, Rabi’ah al-‘Adawiyah, Ibrahim bin Adham, al-Ghazali, Abd al-Qadir al-Jailani, Ibn ‘Atha ‘Illah al-Sakandari, dan al-Haddad pada saat tertentu bisa diartikan sebagai maqam, bahwa seseorang tidak boleh merancang masa depannya, dan harus menjauhi dunia, sebab dunia bisa menutupi hati. Inti zuhud ialah kesadaran jiwa akan rendahnya nilai dunia. Ia bagaikan bangkai. Seseorang boleh memilikinya sekedar untuk mencapai kebaikan dan untuk beribadah kepada Allah SWT.
Namun di sisi lain terdapat fenomena yang menarik pula bahwa zuhud secara umum bisa diartikan sebagai moral (akhlak) Islam, yaitu sikap yang harus dimiliki oleh seluruh umat Islam dalam menghadapi dunia materi ini, yaitu sikap tidak tertarik dan sikap tidak memiliki sesuatu.
Dengan zuhud akan tampil sifat positif lainnya, seperti qana’ah, tawakkal, wara’, sabar, syukur, dan sifat positif lainnya. Lalu bagaimana mengaplikasikan zuhud pada masa kini? Olek karena itu, dengan makalah sederhana ini kami akan memaparkan hal-hal yang berkaitan dengan hal tersebut.
Pengertian Zuhud
Pengertian Zuhud
Secara etimologis zuhud berarti رغب عن شيئ و تركه artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fi al-dunyaa berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah. Orang yang melakukan zuhud disebut zahid, zuhhad atau zahidun. Zahidah jamaknya zuhdan, artinya kecil atau sedikit. [1]
Sedangkan zuhud jika ditinjau dari segi terminologis ternyata memiliki pengertian yang berbeda-beda. Salah satunya adalah di kalangan ahli tasawuf yang memberikan banyak pengertian, di antaranya :
- Benci kepada dunia dan berpaling padanya
- Membuang kesenangan dunia untuk mencapai kesenangan akhirat
- Hati tidak memperdulikan kekosongan tangan
- Membelanjakan apa yang dimiliki dan tidak menghargai apa yang didapat
- Tidak menyesal atas apa yang tidak ada dan tidak gembira tentang apa yang ada
Menurut Amin Syukur dalam karyanya Zuhud di abad Modern, beliau berpendapat bahwa zuhud secara terminologi tidak bisa dilepaskan dari dua hal. Pertama, zuhud seagai bagian yang tidak terpisahkan dari tasawuf. Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam dan gerakan protes. Makna pertama, apabila tasawuf diartikan adanya kesadaran dan komunikasi langsung antara manusia dengan Tuhan sebagai perwujudan ihsan, maka zuhud merupakan suatu stasiun (maqam) menuju tercapainya perjumpaan atau ma`rifat kada-Nya. Dalam kaitan ini `Abd al-Hakim Hasan menjelaskan bahwa zuhud adalah :
اي بمعن الانصراف عن الدنيا والا قبال على العبدة ورياضة النفس وتهذيبها ومحاربة رغباتها بالخلوة والسياحة والصوم وقلة الطعام وكثيرة الذكر ….
Artinya : “Berpaling dari dunia dan menghadapkan diri untuk beribadah. Melatih dan mendidik jiwa, dan memerangi kesenangannya dengan semedi (khalwat), berkelana, puasa, mengurangi makan, dan memperbanyak dizikir”.
Makna kedua, zuhud dipahami sebagai sikap hidup yang seharusnya dilakukan oleh seorang Muslim dalam menatap dunia fana` ini. Dunia dipandang sebagai sarana ibadah untuk meraih keridhaan Allah SWT bukan untuk tujuan hidup. Zuhud adalah hilangnya ketergantungan hati terhadap harta, bukan berarti sepi dari harta. Di sini zuhud berarti tidak merasa bangga atas kemewahan dunia yang telah ada di tangan, dan tidak merasa bersedih karena hilangnya kemewahan itu dari tangannya. Bagi Abu al-Wafa al-Tafzani, zuhud ini bukanlah kependetaan atau terputusnya kehidupan duniawi, akan tetapi merupakan hikmah pemahaman yang membuat seseorang memiliki pandangan khusus terhadap kehidupan dunia itu. Mereka tetap bekerja dan berusaha, namun kehidupan duniawi itu tidak menguasai kecenderungan kalbunya dan tidak membuat mereka mengingkari Tuhan.[2]
Menurut Imam al-Ghazali hakikat zuhud ialah berpaling dari sesuatu yang di benci kepada sesuatu yang lebih baik, benci dunia, mencintai akhirat, atau berpaling dari selain Allah kepada allah semata.
Firman Allah surat al-Imran ayat 152 :
Nà6YÏB `¨B ßÌã $u÷R9$# Nà6YÏBur `¨B ßÌã notÅzFy$# 4
Artinya : “Di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan diantara kamu ada orang yang menghendaki akhirat”.
Dalam ayat di atas, Imam Ghazali menjelaskan,
Ketauhilah bahwa zuhud itu tidaklah meninggalkan harta dan mencurahkannya untuk jalan kemurahan hati, berkasih sayang dan menurut jalan kecenderungan hati dan serta atas jalan kerakusan. Semua itu da antara adat kebiasaan yang baik. Namun tidak ada tempat satu pun dalam ibadah. Sesungguhnya zuhud itu bilamana engkau meninggalkan dunia, sebab engkau mengerti kehinaan dunia itu dengan disandarkan pada keindahan akhirat.[3]
Dalam hadis riwayat Ibnu Majah, dari hadis Sahal bin Sa`ad, Nabi SAW bersabda :
ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ وَازْهَدْ فِيمَا فِي أَيْدِي النَّاسِ يُحِبُّوكَ[4]
Artinya : “Zuhudlah dunia niscaya kamu akan dicintai Allah. Dan zuhudlah apa yang ada di tangan manusia niscaya kamu akan dicintai oleh manusia dan lainnya.
Pengertian Wara’
Pengertian Wara’
Wara secara bahasa berasal dari kata : وَرِعَ , يَرِع diambil dari kata ( ورع ) yang berarti “menahan”atau “tergenggam”. Sedangkan secara istilah wara’mengandung pengertian menahan diri dari hal-hal yang dapat menimbulkan madharat lalu menyeretnya kepada hal-hal yang haram dan syubhat. Orang yang wara disebut wari’un wa mutawari’un.
Pendapat para ulama mengenai wara’.
Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan wara’. Menurut Ibnu Waris wara’ berarti menjaga diri, yaitu menjaga diri dari hal-hal yang tidak layak untuk dilakukan. Ibnu Manzur berpendapat bahwa kata الوَرَع dengan ra yang difathah berarti risih, jikaالوَرِع dengan ra yang dikasrah maka diartikan sebagai orang yang khawatir, dan melindungi diri serta merasa risih.
Menurut Ibrahim bin Adhm wara’ adalah meninggalkan perkara yang samar. Dan meninggalkan apa yang bukan urusanmu dan meninggalkan hawa nafsu serta meninggalkan segala kejelekan. Sedangkan Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa wara’ adalah “menahan diri dari apa-apa yang akan memudaratkan, termasuk di dalamnya perkara-perkara yang haram dan samar, karena semuanya itu dapat memadharatkan. Sungguh siapa yang menghindari perkara yang samar maka dia telah menyelamatkan kehormatannya dan agamanya. Siapa yang terjerumus dalam perkara samar, atau haram, sebagaimana penggembala yang menggembala di sekitar pagar, tak ayal dia akan masuk ke dalamnya.”
Ibnul Qoyyim berkata bahwa Nabi SAW telah merangkum pengertian wara’ dalam satu kalimat di sebuah hadis yang diriwayatkan oleh at-Turmudzi yaitu :
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ
Atinya : “Dari baiknya keislaman seseorang itu adalah meninggalkan apa yang bukan urusanya(dikuasainya).”(HR. at-Turmudzi).[5]
Yang dimaksud dengan ‘meninggalkan apa yang bukan urusannya’ yaitu meninggalkan segala sesuatu yang tidak menjadi urusannya baik dalam hal pembicaraan, pandangan, pendengaran dan tindakan serta seluruh aktivitas lahir maupun batin.
Menurut Syaikh Muhammad bin Soleh al-Utsaimin, orang yang wara adalah orang yang mendapati perkara samar, kemudian ia meninggalkannya meskipun dari sisi hukum keharamannya masih diperselisihkan. Sedangkan jika samar dalam wajibnya suatu perkara, dia mengerjakannya agar tidak berdosa jika meninggalkannya.
Mengenai pengertian wara’ ini di al-Qur’an tidak disebutkan definisinya secara jelas. Akan tetapi ada beberapa ayat yang secara tidak langsung menyebutkan ciri-ciri wara’ berdasarkan dengan kandungan maknanya. Ayat-ayat tersebut di antaranya yaitu, QS al-Muddastir : 4
y7t/$uÏOur öÎdgsÜsù ÇÍÈ
Artinya : “ dan pakaianmu bersihkanlah”.
Ibnu Abbas menafsirkan ayat ini yaitu janganlah mengenakan pakaian untuk perbuatan maksiat.
Menurut penafsiran Ibnu Sirrin dan Ibnu Zaid maksud dari ayat tersebut adalah perintah untuk menjaga pakaian dari najis yang dapat menyebabkan sholat kita tidak sah, sebab orang-orang musyrik zaman dahulu tidak pernah menjaga kesucian badan dan pakaian mereka.
Adapun pengertian wara’ menurut Nabi SAW, yaitu terdapat dalam beberapa hadis di antaranya :
(( دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلىَ مَا لاَ يَرِيْبُكَ ))
Artinya : “Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukan.”[6]
Maksud dari sesuatu yang meragukan dalam hadis ini adalah yang membuat hati tidak tenang dan memunculkan rasa khawatir, jika ternyata hal itu tidak boleh dilakukan. Jika kita menghadapi kondisi demikian maka tinggalkanlah yang meragukan tersebut dan lakukanlah sesuatu yang meyakinkan atau yang membuat tenang. Adalah perbuatan tercela jika ada keraguan namun tetap dikerjakan.[7]
Dan dari Wabishah bin Ma’bad ra. dia berkata : Aku datang kepada Rasulullah SAW, beliau bersabda, “Apakah engkau datang untuk bertanya tentang kebajikan?” Aku berkata,” Ya.” Beliau bersabda, “Bertanyalah kepada hatimu. Kebajikan adalah apa yang menjadikan tenang jiwa dan hati, sedangkan dosa adalah apa yang menggelisahkan jiwa dan menimbulkan keraguan dalam hati, meskipun orang-orang terus membenarkanmu.” [8]
Dalam hadis lain Nabi bersabda :
(( فَضْلُ الْعِلْمِ خَيْرٌ مِنْ فَضْلِ الْعِبَادَةِ, وَخَيْرُ دِيْنِكُمْ الوَرَعُ ))
Artinya : “Keutamaan ilmu lebih baik dibandingkan keutamaan ibadah. Dan kebaikan agamamu adalah wara.” [9]
Zuhud di Era Modern
Zuhud di Era Modern
Islam diturunkan sebagai rahmatan li al-‘alamin, diturunkan dalam konteks zamannya untuk memecahkan problema kemasyarakatan pada masa itu. Konteks dan latar belakang perjuangan Rasulullah SAW dalam situasi dan kondisi Arab Quraisy waktu itu. Pada masa sekarang harus dipahami dalam konteksnya yang tepat, yaitu pemahaman yang mondar-mandir, memasukkan konteks kekinian ke masa diturunkan al-Qur’an, dan kembali lagi ke masa kini. Pemahaman ini akan menjamin aktualisasi dan kemampuan Islam menjawab tantangan zaman sepanjang sejarah.
Setelah problema keumatan berkembang, maka sebagai tuntutan kultural dan historis, muncullah mazhab dalam berbagai bidang, seperti politik, ilmu kalam, fiqih, dan tasawuf, yang selanjutnya menampilkan diri sebagai disiplin ilmu keislaman. Berbagai rumusan mazhab itu tidak bisa terlepas dari konteks zamannya, dan untuk memecahkan problema yang dihadapi umat Islam pada waktu itu.
Tasawuf sebagai salah satu disiplin ilmu keislaman tidak bisa keluar dari kerangka itu. Rumusan ajaran tasawuf klasik, khususnya yang menyangkut konsep zuhud sebagai maqam yang diartikan sebagai sikap menjauhi dunia dan isolasi terhadap keramaian duniawi, karena semata-mata ingin bertemu dan ma’rifat kepada Allah SWT, sebagaimana dirumuskan oleh ulama terdahulu misalnya oleh Hasan Basri. Di sisi lain hal tersebut bisa diberi makna bahwa situasi dan kondisi pada waktu itu menghendaki demikian, yakni sebagai reaksi terhadap sistem sosial, politik, dan ekonomi.
Ketika Islam telah tersebar ke mana-mana, tentunya membawa konsekuensi tersendiri, seperti lahirnya kemakmuran negara Islam, di satu pihak, dan pertikaian politik intern umat Islam, di pihak yang lain, sehingga menimbulkan perang saudara yang berawal dari al–fitnah al–kubra, serta perilaku semena-mena elite politik pada masa itu.
Melihat keadaan demikian ada sebagian umat Islam, khususnya ulamanya yang menjauhkan diri dari keramaian dunia (‘uzlah), lari ke gua-gua dan ke gunung-gunung agar tidak terlibat hal-hal tersebut. Gerakan ini bisa bermakna etis, yakni gerakan memprotes situasi dan kondisi sosial politik dan ekonomi waktu itu. Dan konsep zuhud menjadi sangat ekstrim setelah mengalami perkembangan lebih lanjut, yakni tasawuf dalam bentuk thariqah.
Selanjutnya bagaimana zuhud sebagai upaya pembentukan sikap terhadap dunia di masa modern seperti ini. Untuk mengungkap hal ini, maka perlu melihat bagaimana sebenarnya masyarakat modern itu.
‘Ata’ Muzhar, menyatakan bahwa masyarakat modern ditandai oleh lima hal, yakni: Pertama, berkembangnya mass culture karena pengaruh kemajuan mass media sehingga kultur tidak lagi bersifat lokal, melainkan nasional atau bahkan global. Kedua, tumbuhnya sikap-sikap yang lebih mengakui kebebasan bertindak manusia menuju perubahan masa depan. Dengan demikian alam dapat ditaklukkan, manusia merasa lebih leluasa kalau bukan merasa lebih berkuasa. Ketiga, tumbuhnya berpikir rasional, sebagian besar kehidupan ummat manusia ini semakin diatur oleh aturan-aturan rasional. Keempat, tumbuhnya sikap hidup yang materialistik, artinya semua hal diukur oleh nilai kebendaan dan ekonomi. Kelima, meningkatnya laju urbanisasi.
Masyarakat modern ialah masyarakat yang cenderung menjadi sekuler. Hubungan antara anggota masyarakat tidak lagi atas dasar atau prinsip tradisi atau persaudaraan, tetapi pada prinsip-prinsip fungisional pragmatis. Masyarakatnya merasa bebas dan lepas dari kontrol agama dan pandangan dunia metafisis, ciri-cirinya yang lain adalah penghilangan nilai-nilai sakral terhadap dunia, meletakkan hidup manusia dalam konteks kenyataan sejarah, dan penisbian nilai-nilai.
Masyarakat modern yang mempunyai ciri tersebut, ternyata menyimpan problema hidup yang sulit dipecahkan. Rasionalisme, sekularisme, materialisme, dan lain sebagainya ternyata tidak menambah kebahagiaan dan ketentraman hidupnya, akan tetapi sebaliknya, menimbulkan kegelisahan hidup ini.
Sebagai akibat modernisasi dan industrialisasi, kadang-kadang manusia mengalami degradasi moral yang dapat menjatuhkan harkat dan martabatnya, meluncur bagaikan binatang, bahkan lebih hina daripadanya. Ini adalah akibat dari adanya mass culture tersebut. Berbagai perilaku amoral sering dilaporkan melalui media massa.
Memang diakui bahwa manusia dalam kehidupannya selalu berkompetisi dengan hawa nafsunya yang selalu ingin menguasainya. Agar posisi seseorang dapat terbalik, yakni hawa nafsunya dikuasai oleh akal yang telah mendapat bimbingan wahyu, dalam dunia tasawuf diajarkan berbagai cara, seperti riyadah (latihan) dan mujahadah (bersungguh-sungguh) dalam melawan hawa nafsunya jadi. Dengan jalan ini diharapkan seseorang mendapatkan jalan yang diridhai Allah SWT.
Kehidupan modern seperti sekarang ini sering menampilkan sifat-sifat yang kurang dan tidak terpuji, terutama dalam menghadapi materi yang gemerlap ini. Antara lain sifat at–tama’, yaitu sifat loba dan sifat al–hirs, yaitu keinginan yang berlebih-lebihan terhadap materi. Dari sifat ini tumbuh perilaku menyimpang seperti korupsi dan manipulasi.
Dalam tasawuf prinsip-prinsip positif yang mampu menumbuhkan masa depan masyarakat, antara lain hendaknya selalu mengadakan introspeksi (muhsabah), berwawasan hidup moderat, tidak terjerat oleh nafsu rendah, sehingga lupa pada diri dan Tuhannya.
Dalam menempuh jenjang kesempurnaan rohani, dikenal tehapan : takhalli, tahalli, dan tajalli. Dalam takhalli terdapat ciri moralitas Islam, yakni menghindarkan diri dari sifat-sifat tercela, baik secara vertikal maupun horisontal, misalnya at–tama’, al–hirs, al–hasad, takabur, dan sebagainya. Tahalli merupakan pengungkapan secara progresif nilai moral yang terdapat dalam Islam, misalnya zuhud, yang oleh sebagai ulama sufi sebagai awal kehidupan tasawuf.
Zuhud sebagai sikap sederhana dalam kehidupan berdasarkan motif agama, akan bisa menanggulangi sifat at–tama’ dan sifat al–hirs. Imam Ahmad ibn Hanbal menyebutkan ada tiga tahap zuhud :
Pertama, zuhud dalam arti meninggalkan yang haram, ini adalah zuhudnya orang awam. Jika seorang yang berzuhud kepada dunia, tapi orang ini menyukai dunia, hatinya cenderung kepada dunia. Ini adalah tingkatan zuhud yang standar.[10]
Kedua, zuhud dalam arti meninggalkan hal-hal yang berlebih-lebihan dalam perkara yang halal, ini adalah zuhudnya orang khawas (istimewa).ketika seseorang yang meninggalkan dunia dengan ringan, gampang sekali meninggalkan urusan dunia, karena dianggapnya hina dan dihubungkannya kepada apa yang diinginkan. Tak ada artinya dunia ini jika dibandingkan dengan kemulian akhirat.
Ketiga, zuhud dalam arti meninggalkan apa saja yang memalingkan diri dari Allah SWT, ini adalah zuhudnya orang ‘arif (orang yang telah mengenal Tuhan).Seorang yang berzuhud dengan ringan, tanpa beban, dia berzuhud dengan kezuhudannya. Inilah tingkatan yang paling tinggi.
Tingkatan Zuhud yang Dihubungkan dengan Hal yang Disukai:
Tingkatan Zuhud yang Dihubungkan dengan Hal yang Disukai:
Tingkatan paling rendah, zuhudnya karena takut akan siksaan.
Tingkatan menengah, zuhudnya karena mengharapkan pahala. Ia lupakan neraka, tapi ia memohon surga. Maka ia melakukan perbuatan baik karena diiming-imingi oleh surga.
Tingkatan tertinggi, zuhudnya karena suka kepada Allah, bukan takut neraka, bukan ingin surga. Dia takut, dan dia mencintai Tuhannya. Berharap bertemu dengan Allah, hatinya tidak peduli lagi dengan kenikmatan-kenikmatan dan azab. Inilah zuhudnya orang-orang yang mencintai Allah. Orang-orang seperti ini adalah orang-orang yang ma’rifah.
Berpegang kepada definisi ini, akan dapat dijabarkan beberapa nilai derifatif darinya yang kondusif untuk usaha-usaha menghilangkan dedikasi moral yang berkaitan dengan sikap kefoya-foyaan. Meninggalkan hal-hal yang haram menuntut orang mencari kekayaan serta tulus lewat kerja keras, dan profesional. Meninggalkan suap, manipulasi, korupsi, menindas yang lain, dan lain sebagainya.
Dengan demikian zuhud dapat dijadikan benteng untuk membangun diri dari dalam diri sendiri, terutama dalam menghadapi gemerlapnya materi. Dengan zuhud akan tampil sifat positif lainnya, seperti qana’ah (menerima apa yang telah ada/dimiliki), tawakkal (pasrah diri kepada Allah SWT), wara’ atau wara’i, yaitu menjaga diri agar jangan sampai makan barang yang meragukan (syubhat), sabar, yakni tabah menerima keadaan dirinya, baik keadaan itu menyenangkan, menyusahkan dan sebagainya, syukur, yakni menerima nikmat dengan hati lapang, dan mempergunakan sesuai dengan fungsi dan proporsinya.
Yang perlu diketahui bahwa sifat-sifat itu merupakan bekal menghadapi kenyataan hidup ini bukan menjadikan seseorang pasif, seperti tidak mau berusaha mencari nafkah, eksklusif dan menarik diri dari keramaian dunia, tetapi sebaliknya, sebab seorang muslim hidup di dunia ini membawa amanah, yakni membawa fungsi kekhalifahan, yang berarti sebagai pengganti Tuhan, pengelola, pemakmur, dan yang meramaikan dunia ini. Sifat-sifat tersebut merupakan sikap batin dalam menyikapi keadaan masing-masing individu. Setiap manusia diwajibkan berikhtiar untuk menjadikan dirinya lebih baik dari keadaannya sekarang.
Setelah seseorang telah mampu menguasai dirinya, dapat menanamkan sifat-sifat terpuji dalam jiwanya, maka sudah barang tentu hatinya menjadi jernih, ketenangan dan ketentraman memancar dari hatinya. Inilah hasil yang dicapai seseorang, yang dalam tasawuf disebut tajalli, yaitu sampainya nur ilahi dalam hatinya. Dalam keadaan yang demikian ini, seseorang bisa membedakan mana yang baik dan yang tidak baik, mana yang batal dan mana yang haq. Dan secara khusus, tajalli berarti ma’rifatullah, melihat Tuhan dengan mata hati, dengan rasa.
Tajalli sebagai kristalisasi nilai-nilai religio moral dalam diri manusia yang berarti melembagakannya nilai-nilai ilahiyah yang selanjutnya akan direfleksikan dalam setiap gerak dan aktivitasnya. Pada tingkatan ini seseorang telah mencapai tingkat kesempurnaan (insan kamil). Dia dapat merealisasikan segala kemungkinan yang dapat dicapai oleh makhluk manusia yang membawa potensi keilahian.
Capaian terakhir ini merupakan puncak kebahagiaan seorang sufi. Orang seperti ini akan mencapai tuma’ninah al–qalb, ketenangan hati yang merupakan pangkal kebahagiaan baik bahagia di dunia maupun di akhirat. Orang yang demikian ini hidupnya penuh dengan optimisme, tidak mungkin tergoda oleh situasi dan kondisi yang melingkupinya, bisa menguasai diri dan menyesuaikan diri di tengah-tengah deru modernisasi dan industrialisasi.
Kesimpulan
Zuhud dipahami sebagai sikap hidup yang seharusnya dilakukan oleh seorang Muslim dalam menatap dunia fana` ini. Dunia dipandang sebagai sarana ibadah untuk meraih keridhaan Allah SWT bukan untuk tujuan hidup. Zuhud adalah hilangnya ketergantungan hati terhadap harta, bukan berarti sepi dari harta. Di sini zuhud berarti tidak merasa bangga atas kemewahan dunia yang telah ada di tangan, dan tidak merasa bersedih karena hilangnya kemewahan itu dari tangannya.
Tingkatan zuhud ada tiga:Pertama, zuhud dalam arti meninggalkan yang haram, ini adalah zuhudnya orang awam. Kedua, zuhud dalam arti meninggalkan hal-hal yang berlebih-lebihan dalam perkara yang halal, ini adalah zuhudnya orang khawas (istimewa). Ketiga, zuhud dalam arti meninggalkan apa saja yang memalingkan diri dari Allah SWT, ini adalah zuhudnya orang ‘arif (orang yang telah mengenal Tuhan).
Dengan demikian zuhud dapat dijadikan benteng untuk membangun diri dari dalam diri sendiri, terutama dalam menghadapi gemerlapnya materi. Dengan zuhud akan tampil sifat positif lainnya, seperti qana’ah (menerima apa yang telah ada/dimiliki), tawakkal (pasrah diri kepada Allah SWT), wara’ atau wara’i, yaitu menjaga diri agar jangan sampai makan barang yang meragukan (syubhat), sabar, yakni tabah menerima keadaan dirinya, baik keadaan itu menyenangkan, menyusahkan dan sebagainya, syukur, yakni menerima nikmat dengan hati lapang, dan mempergunakan sesuai dengan fungsi dan proporsinya
Wara’ adalah meninggalkan perkara yang samar. Dan meninggalkan apa yang bukan urusanmu dan meninggalkan hawa nafsu serta meninggalkan segala kejelekan. Sungguh siapa yang menghindari perkara yang samar maka dia telah menyelamatkan kehormatanya dan agamanya. Siapa yang terjerumus dalam perkara samar, atau haram, sebagaimana penggembala yang menggembala di sekitar pagar, tak ayal dia akan masuk ke dalamnya.”
[1] M. Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 1.
[2] M. Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 3
[4] Kitab sunan Ibnu Majah, bab في الدنيا الزهد , juz 12, halaman 124
[5] Hadits di atas dikeluarkan oleh at-Turmudzi, Ibnu Majah.
[6] Hadis riwayat At-Tirmidzi dan An-Nasa’i. Menurut Tirmidzi hadis ini hasan sahih.
[7] Ringkasan Syarah Arba’in An-Nawawi – Syaikh Shalih Alu Syaikh Hafizhohulloh
[8] Hadits hasan yang kami riwayatkan dari Musnad Imam Ahmad bin Hambal dan Musnad Imam Ad-Darimi dengan sanad hasan
[9] Mundziri -semoga Allah merahmatinya- berkata: “Hadits ini sebagaimana yang terdapat dalam Sahih at-Targhib wa at-Tarhib I/103, diriwayatkan oleh at-Thabaroni di dalam kitab al-Ausaath dan al-Bazzar dengan sanad yang hasan.” Telah disahihkan oleh Syaikh al-Albani -semoga Allah merahmatinya- di dalam kitabnya Sahih al-Jami’ no.4214.
[10] Ahmad.2009.Zuhud dalam era modern.Jakarta:Gema Insani Press
[1] M. Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 1.
[2] M. Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 3
[4] Kitab sunan Ibnu Majah, bab في الدنيا الزهد , juz 12, halaman 124
[5] Hadits di atas dikeluarkan oleh at-Turmudzi, Ibnu Majah.
[6] Hadis riwayat At-Tirmidzi dan An-Nasa’i. Menurut Tirmidzi hadis ini hasan sahih.
[7] Ringkasan Syarah Arba’in An-Nawawi – Syaikh Shalih Alu Syaikh Hafizhohulloh
[8] Hadits hasan yang kami riwayatkan dari Musnad Imam Ahmad bin Hambal dan Musnad Imam Ad-Darimi dengan sanad hasan
[9] Mundziri -semoga Allah merahmatinya- berkata: “Hadits ini sebagaimana yang terdapat dalam Sahih at-Targhib wa at-Tarhib I/103, diriwayatkan oleh at-Thabaroni di dalam kitab al-Ausaath dan al-Bazzar dengan sanad yang hasan.” Telah disahihkan oleh Syaikh al-Albani -semoga Allah merahmatinya- di dalam kitabnya Sahih al-Jami’ no.4214.
[10] Ahmad.2009.Zuhud dalam era modern.Jakarta:Gema Insani Press
Buka juga :
إرسال تعليق
Silahkan berkomentar