Sifat Orang Beriman dan Orang Munafik |
Sifat Orang Beriman dan Orang Munafik
Ayat ini menjelaskan sifat orang munafik dan orang beriman. Coba renungkan baik-baik surat ini.
Tafsir Surah An-Nuur Ayat 47
Allah Ta’ala berfirman,
وَيَقُولُونَ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالرَّسُولِ وَأَطَعْنَا ثُمَّ يَتَوَلَّىٰ فَرِيقٌ مِنْهُمْ مِنْ بَعْدِ ذَٰلِكَ ۚ
“Dan mereka berkata: “Kami telah beriman kepada Allah dan rasul, dan kami mentaati (keduanya)”. Kemudian sebagian dari mereka berpaling sesudah itu, sekali-kali mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nuur: 47)
Penjelasan ayat
Pernyataan orang munafik
Ini yang mengatakan adalah orang-orang munafik. Mereka mengatakan bahwa mereka beriman kepada Allah dengan mentauhidkan-Nya dan beriman kepada Rasul Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mereka menyatakan bahwa mereka menaati Allah dan Rasul-Nya. Kemudian mereka berpaling setelah itu dan mereka bukan termasuk orang-orang yang beriman.
Maksud beriman
Beriman yang dimaksud di sini bukan sekadar tashdiq (membenarkan), ini tafsiran yang masih kurang. Iman bukan hanya tashdiq namun juga dengan menerima dan tunduk. Berarti kalau beriman kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tunduk pada ajaran beliau. Karena kalau cuma sekadar membenarkan, maka Abu Thalib harusnya sudah disebut beriman karena ia sudah membenarkan Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Adapun beriman kepada Allah haruslah dengan iman yang sempurna. Begitu pula beriman kepada Rasul haruslah dengan iman yang sempurna. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An-Nisaa’: 59).
Namun dalam ayat ini ditambahkan taat pada ulil amri tanpa mengulangi kalimat “wa athii’uu”, hal ini menunjukkan bahwa menaati ulil amri adalah ikutan dari menaati Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan taat pada rasul itu berdiri sendiri sebagaimana Allah berfirman,
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ ۖ
“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah.” (QS. An-Nisaa’: 8)
Maksud beriman kepada Allah
- Beriman kepada Allah berarti beriman kepada wujud Allah, rububiyah-Nya, uluhiyah-Nya, serta nama dan sifat-Nya.
- Beriman kepada wujud Allah berarti meyakini bahwa Allah itu ada.
- Beriman kepada rububiyah Allah berarti meyakini Allah sebagai pencipta, pemberi rezeki, pengatur jagat raya, dan yang Maha Merajai.
- Beriman kepada uluhiyah berarti meyakini bahwa Allah itu satu-satu yang berhak untuk diibadahi.
- Beriman kepada asma’ wa sifat berarti meyakini bahwa Allah memiliki nama dan sifat yang sempurna tanpa ditolak, tanpa diubah maknanya, tanpa dinyatakan hakikat, dan tanpa diserupakan atau dimisalkan dengan makhluk.
Maksud taat kepada Allah
Maksud taat kepada Allah adalah mencocoki perintah-Nya, tidak keluar dari perintah Allah dan tidak menyelisihinya. Jika itu perintah, maka dijalankan; jika itu larangan, maka ditinggalkan. Sehingga kalimat taat kepada Allah mencakup menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Setelah menyatakan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian taat
Orang-orang munafik malah menyatakan,
يَتَوَلَّىٰ فَرِيقٌ مِنْهُمْ مِنْ بَعْدِ ذَٰلِكَ
“Kemudian sebagian dari mereka berpaling sesudah itu.”
Kemudian Allah berfirman,
وَمَا أُولَٰئِكَ بِالْمُؤْمِنِينَ
“Sekali-kali mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman.” Maksudnya mereka bukanlah beriman dengan benar.
Jika mereka berpaling secara total, berarti dinafikan iman secara total.
Jika mereka berpaling tidak secara total, maka di sini ada beberapa keadaan, bisa jadi kafir, bisa jadi pula berkurang iman.
Faedah ayat
Pertama: Ini jadi dalil bahwa manusia jika berkata bahwa ia beriman, padahal ia berpaling, berarti ia telah dusta dalam klaimnya. Orang yang berpaling di sini bisa jadi tidak ada iman sekali, bisa jadi pula imannya itu berkurang.
Kedua: Ayat ini menunjukkan akan bahayanya fanatik madzhab atau fanatik pada perkataan orang tertentu ketika kita diajak untuk mengikuti Allah dan Rasul-Nya. Wajib ketika diperintah mengikuti Allah dan Rasul-Nya, hendaklah kita berhukum dan kembali kepada keduanya. Karena perkataan madzhab yang menyatakan, “Ulama fulan mengatakan demikian” akan mirip dengan perkataan orang-orang munafik yaitu ketika mereka diajak pada Allah dan Rasul-Nya, orang munafik malah berpaling. Para fanatik madzhab akan mengatakan, “Pokoknya ikut ulama saya.” Padahal ulama itu manusia, bisa benar, bisa pula salah.
Mengenal kemunafikan
Munafik adalah orang yang memiliki sifat nifak (kemunafikan). Kemunafikan sendiri ada dua macam yaitu nifak i’tiqodi dan nifak ‘amali.
Kemunafikan dalam i’tiqod
Nifak i’tiqodi maksudnya adalah bentuk nifak dalam hati, di mana seseorang menampakkan keislaman namun menyembunyikan kekafiran.
Sedangkan nifak ‘amali adalah bentuk nifak pada jawarih (anggota badan).
Nifak bentuk pertama –nifak i’tiqodi- mengeluarkan seseorang dari Islam dan kemunafikan seperti ini akan membuat seseorang berada pada dasar neraka di bawah orang kafir, Yahudi dan Nashrani.
Sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin, yang menunjukkan bahayanya orang munafik. Dalam awal-awal surat Al Baqarah, disebutkan tiga golongan manusia. Orang beriman disebutkan dalam empat ayat, orang kafir disebutkan dalam dua ayat, sedangkan orang munafik disebutkan dalam 13 ayat.
Contoh nifak i’tiqodi:
- Mendustakan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Mendustakan sebagian ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Benci pada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Benci pada sebagian ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Senang melihat agama Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam direndahkan.
- Tidak senang jika agama Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan kemenangan.
Kemunafikan dalam sifat lahiriyah
Sedangkan nifak yang kedua adalah nifak ‘amali atau nifak ashgor (nifak kecil atau ringan) yang tidak mengeluarkan seseorang dari Islam. Karena bentuk nifak atau kemunafikan ini nampak dalam sifat lahiriyah dan tidak nampak pada batinnya. Seperti misalnya seseorang yang menampakkan dirinya shalih ketika berada di khalayak ramai. Namun ketika tidak berada di keramaian, ia jauh berbeda.
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا ، وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ
“Ada empat tanda, jika seseorang memiliki empat tanda ini, maka ia disebut munafik tulen. Jika ia memiliki salah satu tandanya, maka dalam dirinya ada tanda kemunafikan sampai ia meninggalkan perilaku tersebut, yaitu: (1) jika diberi amanat, khianat; (2) jika berbicara, dusta; (3) jika membuat perjanjian, tidak dipenuhi; (4) jika berselisih, dia akan berbuat zalim.” (HR. Muslim, no. 58)
Semoga bermanfaat.
Referensi:
At-Tashiil li Ta’wil At-Tanzil Tafsir Surah An-Nuur fii Sual wa Jawab. Cetakan kedua, Tahun 1423 H. Syaikh Abu ‘Abdillah Musthafa Al-‘Adawi. Penerbit Maktabah Makkah.
Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Surah An-Nuur. Cetakan pertama, Tahun 1436 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Muassasah Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.
Tafsir As-Sa’di. Cetakan kedua, Tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.
Buka juga :
إرسال تعليق
Silahkan berkomentar