Kemunafikan Menurut Al-Qur’an


Kemunafikan Menurut Al-Qur’an


Selain berdusta jika berbicara, mengingkari janji, dan tidak amanah ketika mendapat kepercayaan -sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis shahih-, tanda dan kriteria orang munafik juga banyak disebutkan dalam Al-Qur’an. Salah satunya dalam surat Al-Baqarah ayat 8 sampai 16. Setelah berbicara orang-orang bertakwa yang telah mencapai kesempurnaan imannya, Allah lalu menyebutkan lawannya yaitu orang-orang kafir yang mendustakan Allah dan Rasul-Nya serta tidak dapat menerima secuil pun rasa keimanan dalam hatinya (ayat 6 dan 7). Allah juga menyebutkan golongan lain selain dari kedua golongan sebelumnya yatiu kelompok orang-orang munafik, dimana mereka menampakkan keimanan kepada Allah, namun dalam hatinya tetap kafir dan mengingkari Allah.

Ibnu Katsir menuturkan bahwa yang dimaksud dengan nifaq (sifat munafik) adalah menampakkan kebaikan dan menyembunyikan kejelekan. Ibnu Juraij menambahkan bahwa orang munafik adalah ia yang perkataannya tidak sesuai dengan perbuatannya, dan yang disembunyikan tidak sesuai dengan apa yang ditampakkan. Dalam ayat 8 surat Al-Baqarah, Allah mulai menjelaskan bahwa ada golongan atau kelompok manusia yang secara dzahir atau secara lisan ia beriman kepada Allah dan hari akhir namun dalam hatinya tetap kafir dan ingkar kepada-Nya.

Mereka dengan kebodohannya lalu menganggap telah menipu dan mengecoh Allah padahal tanpa disadari mereka telah menipu diri sendiri, dan balasannya juga kembali ke diri sendiri yaitu adanya penyakit (maradhun) dalam hatinya. Menurut Ibnu Abbas maksud dari penyakit ini adalah keraguan (syakk) tentang Islam dan sifat kemunafikan, sedangkan Ikrimah menafsirkannya sebagai riya’, sehingga maksud penyakit di sini adalah penyakit dalam agama bukan penyakit yang menyerang tubuh/badan. Allah juga menambah penyakitnya tersebut sebagai balasan di dunia serta telah menyiapkan azab yang pedih kelak di akhirat karena kekafiran dan keingkarannya tersebut.

Di ayat selanjutnya (ayat 11 dan 12), Allah menjelaskan bahwa orang munafik jika diperingatkan oleh orang-orang mukmin agar tidak berbuat onar dan kerusakan di muka bumi, mereka menentang dan bersikeras bahwa justru mereka telah berbuat benar bahkan telah membuat suatu perbaikan. Allah kemudian menampik anggapan keliru mereka, karena pada dasarnya tanpa mereka sadari, perbuatan mereka adalah sebab kehancuran. Mereka tidak merasa karena hatinya telah tertutup kebodohan dan kekafirannya kepada Allah.

Menurut Ibnu Katsir mengutip perkataan Ibnu Mas’ud dari salah seorang sahabat Nabi saw, kerusakan (al-fasad) di sini bermakna kufur dan perbuatan maksiat. Sedangkan menurut Imam Al-Baidhowi dalam tafsirnya Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Takwil mengatakan bahwa hakikat dari kerusakan adalah tidak adanya kebenaran pada suatu hal, adapun kerusakan yang ditimbulkan oleh orang-orang munafik berupa peperangan, fitnah di antara kaum muslim, maraknya perbuatan maksiat, serta peghinaan terhadap agama.

Begitu juga pada ayat 13 dan 14 disebutkan, bahwa ketika orang-orang munafik diperintahkan untuk beriman seperti imannya Abdullah bin Salam dan pengikutnya, yaitu iman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, utusan-utusan-Nya, kebangkitan setelah kematian, surga, neraka, senantiasa taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta menjauhi larangan-Nya, maka mereka menolaknya dengan alasan tidak mau beriman seperti golongan tersebut yang dianggap bodoh dan kurang berakal.

Ibnu Katsir mengatakan bahwa Sufaha (sufahaa’) merupakan bentuk jamak dari safih (safiih) yang berarti kurang dan lemahnya akal, sedikitnya pengetahuan tentang mana yang baik dan buruk, serta tidak bagus perbuatan dan perangainya. Allah juga kemudian menampiknya dan menyatakan bahwa justru merekalah yang kurang akal dan memiliki sifat-sifat tersebut, namun mereka tidak menyadari kebodohan dan kesesatannya karena mereka buta dan jauh dari petunjuk Allah.

Masih berkaitan dengan sifat orang-orang munafik, sebagaimana telah disebutkan di ayat 8 sebelumnya, di ayat 14 Allah juga menjelaskan bahwa mereka para munafik ketika berhadapan dengan orang beriman akan ikut menampakkan keimanannya kepada Allah, Rasul-Nya dan semua ajaran Islam. Akan tetapi ketika pergi dan menemui para pemimpinnya, mereka malah mengaku mengikuti para pemimpin dengan kekafiran dan kesesatannya dan tidak pernah mengakui keimanannya kepada Allah. Perbuatan mereka ini semata-mata hanya mengolok-olok, mengejek, serta mempermainkan orang-orang mukmin. Imam Al-Jazairi menuturkan bahwa arti dari syaithan adalah segala sesuatu yang jauh dari kebaikan, dekat pada keburukan, menimbulkan kerusakan bukan perbaikan, baik dari golongan manusia maupun jin. Adapun yang dimaksud syayathin di sini adalah para pemimpin dan punggawa mereka dalam hal keburukan dan kekafiran.

Allah kemudian balik mengejek dan mengolok-olok mereka, yaitu dengan menampakkan kenikmatan di dunia berupa terjaminnya jiwa dan harta mereka, namun akan sangat berlawanan dengan keadaan di akhirat nanti dimana mereka akan ditimpa azab dan siksa yang pedih. Mereka juga dibiarkan terombang-ambing dalam kesesatan dan kekafiran mereka, karena Allah telah menutup hati mereka sehingga tertutup dari petunjuk dan hidayah-Nya. Orang-orang munafik dengan kriteria-kriteria tersebut pada dasarnya telah mengganti petunjuk dengan kesesatan, atau memilih kesesatan lalu meninggalkan petunjuk Allah. Perdagangan mereka sebagai perumpaman transaksi menjual iman untuk membeli kekafiran dengan harapan mendapat keuntungan di dunia, juga pasti rugi karena mereka tidak mendapat keuntungan melainkan akan tersesat dan mendapat azab Allah sebab kekafiran dan keingkarannya.

Oleh karena itu secara singkat, surah Al-Baqarah [2]: 8-16 mengandung beberapa kriteria orang munafik dan beberapa pelajaran penting, antara lain:

Bohong dan pura-pura merupakan ciri utama kebanyakan orang munafik. Mereka memiliki dua wajah, yaitu berusaha menampakkan keimanannya kepada Allah, namun dalam hatinya kafir dan mengingkari Allah. Mereka juga dengan kesesatannya mengaku telah menipu Allah dan mengejek orang mukmin, padahal mereka telah menipu diri sendiri bahkan mengolok-olok diri sendiri tanpa sepengetahuannya. Sehingga akibat perbuatan tersebut akan balik lagi ke mereka, sebagaimana perbuatan buruk pasti akan menghasilkan perbuatan buruk juga bagi pelakunya.
Orang munafik meyakini bahwa perbuatannya selama ini membawa kebaikan, bukan suatu kecerobohan dan kerusakan. Padahal sebaliknya, perbuatan mereka berupa maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya telah membawa kerusakan dan kekacauan umat. Adapun kebaikan sendiri berupa perbuatan baik dan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, sehingga sangat berbanding terbalik dengan sifat orang munafik tersebut.
Beberapa dari manusia bisa disebut syayathin karena ia memiliki sifat syaithan yaitu mengajak pada maksiat dan kekafiran serta memerintahkan pada kemungkaran dan menghalangi kebaikan-kebaikan.
Orang-orang munafik yang rela mengganti keimanan dan petunjuk Allah dengan kekafiran dan keingkaran, akan berada dalam kesesatan jauh dari petunjuk Allah, serta mendapat murka dan azab pedih kelak di akhirat.

Wallahu a’lam.


Buka juga :

Post a Comment

Silahkan berkomentar

أحدث أقدم