Larangan Jual Beli Najasy dan Bolehnya Jual Beli Lelang (Muzayadah) |
Larangan Jual Beli Najasy dan Bolehnya Jual Beli Lelang (Muzayadah)
Larangan jual beli najasy
Di antara bentuk atau praktek jual beli yang terlarang adalah jual beli najasy. Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَلاَ تَنَاجَشُوا
“ .. dan janganlah kalian melakukan jual beli najasy … “ (HR. Bukhari no. 2150 dan Muslim 1515)
Juga diriwayatkan dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ النَّجْشِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli najasy.” (HR. Bukhari no. 2142 dan Muslim no. 1516)
Jual beli najasy yang dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seseorang yang berpura-pura melakukan penawaran terhadap suatu barang, akan tetapi dia tidak bermaksud atau tidak memiliki niat (keinginan) untuk membeli barang tersebut. Motivasi orang tersebut adalah untuk memberikan keuntungan kepada penjual atau menjerumuskan calon pembeli yang lain yang sungguh-sungguh ingin membeli barang tersebut. Orang yang melakukan najasy disebut dengan istilah naajisy.
Misalnya, ada calon pembeli (si A) yang menawar barang seharga sepuluh ribu rupiah dan dia memang benar-benar ingin membelinya. Lalu datanglah si B, yaitu orang yang berpura-pura menawar barang tersebut seharga lima belas ribu rupiah. Karena takut tidak mendapatkan barang tersebut, akhirnya si A menaikkan penawaran menjadi dua puluh ribu rupiah sehingga penjual akhirnya menjual barang tersebut kepada si A.
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata,
وفي الشرع الزيادة في ثمن السلعة ممن لا يريد شراءها ليقع غيره فيها
“(Jual beli najasy) adalah menaikkan (penawaran) harga barang yang dilakukan oleh orang yang tidak ingin membeli barang tersebut dengan tujuan untuk menjerumuskan orang lain.” (Fathul Baari, 4: 355)
Jual beli najasy tersebut terlarang, baik dilakukan dengan kesepakatan (persekongkolan) dengan penjual, atau tanpa sepengetahuan penjual. Atau, bisa juga hanya dilakukan oleh penjual saja (sehingga dalam hal ini penjual bertindak sebagai naajisy).
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata,
ويقع ذلك بمواطأة البائع فيشتركان في الإثم ويقع ذلك بغير علم البائع فيختص بذلك الناجش وقد يختص به البائع كمن يخبر بأنه اشترى سلعة بأكثر مما اشتراها به ليغر غيره
“(Jual beli najasy) terjadi bisa dengan adanya persekongkolan (kesepakatan) dengan penjual, sehingga keduanya (yaitu penjual dan naajisy, pent.) sama-sama berdosa. Bisa juga terjadi tanpa sepengetahuan penjual, sehingga hanya naajisy yang mendapatkan dosa. Selain itu, bisa jadi hanya dilakukan oleh penjual saja. Misalnya, penjual mengatakan bahwa dia membeli barang tersebut dengan harga yang lebih tinggi dari harga penawaran pembeli untuk menipunya.” (Fathul Baari, 4: 355)
Hukum jual beli najasy
Lalu bagaimana status hukum jual beli najasy? Pendapat yang lebih kuat adalah jual beli najasy itu sah, namun naajisy mendapatkan dosa karena perbuatannya tersebut. Inilah pendapat jumhur (mayoritas) ulama dalam masalah ini.
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,
فإن النار اشترى مع النجش فالشراء صحيح في قول أكثر أهل العلم منهم الشافعي وأصحاب الرأي
“Jika melakukan jual beli barang dengan najasy, maka jual belinya sah menurut pendapat mayoritas ulama, di antaranya adalah Asy-Syafi’i dan Hanafiyyah.” (Al-Mughni, 4: 300)
Argumentasi Ibnu Qudamah untuk menguatkan pendapat ini adalah bahwa larangan tersebut kembali kepada naajisy (pelaku najasy), bukan kembali kepada akad jual beli itu sendiri. Sehingga akad jual beli tersebut tetap sah.
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,
ولنا أن النهي عاد إلى الناجش لا إلى العقد فلم يؤثر في البيع
“Hal ini karena larangan tersebut kembali kepada naajisy, dan bukan kembali kepada akad jual beli. Sehingga tidak mempengaruhi keabsahan status akad jual beli.” (Al-Mughni, 4: 300)
Karena sebab larangan adalah menjerumuskan calon pembeli yang asli, maka jika seseorang melihat suatu barang dijual di bawah harga standar, lalu dia menaikkan penawaran agar barang tersebut dijual sesuai dengan harga standar, maka perbuatan ini ini tidaklah mengapa.
Ash-Shan’ani rahimahullah berkata,
أن التحريم إذا كانت الزيادة المذكورة فوق ثمن المثل فلو أن رجلا رأى سلعة تباع بدون قيمتها فزاد فيها لتنتهي إلى قيمتها لم يكن ناجشا عاصيا بل يؤجر على ذلك بنيته
“Sesungguhnya larangan tersebut jika penambahan yang disebutkan itu sampai di atas harga standar. Adapun seandainya seseorang melihat ada suatu barang yang dijual di bawah harga standar, lalu dia menaikkan penawaran agar nilai jual barang tersebut sama dengan harga standarnya, maka orang tersebut bukanlah naajisy dan tidak bermaksiat. Bahkan, dia mendapatkan pahala sesuai dengan niatnya.” (Subulus Salaam, 2: 42)
Perbedaan antara jual beli najasy dengan jual beli lelang (muzayadah)
Mirip dengan kasus jual beli najasy adalah jual beli dengan sistem lelang. Dalam sistem lelang, masing-masing calon pembeli berlomba menaikkan penawaran harga sampai didapatkan harga tertinggi dari pemenang lelang. Dan jika lelang sudah ditutup (pemenang lelang sudah ditetapkan), maka tidak boleh lagi ada yang melakukan penawaran barang.
Jual beli lelang ini diistilahkan dengan jual beli “muzayadah”, yang dalam bahasa Arab artinya “saling menambah”. Hal ini karena pada umumnya, ketika penjual membuka harga barang yang akan dilelang, dia akan mengatakan, “man yazid?” (Siapa yang mau menambah harga?)
Jual beli dengan sistem lelang ini tidak terlarang, karena setiap calon pembeli yang berlomba menaikkan penawaran harga jual barang memang betul-betul berniat ingin membeli barang tersebut, berbeda dengan naajisy yang hanya berpura-pura menawar barang, namun berniat untuk menjerumuskan orang lain.
Jual beli lelang adalah jual beli yang sudah dikenal pada masa sahabat dan tabi’in. Setelah meriwayatkan hadits tentang jual beli lelang, At-Tirmidzi rahimahullah mengatakan,
وَالعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ بَعْضِ أَهْلِ العِلْمِ: لَمْ يَرَوْا بَأْسًا بِبَيْعِ مَنْ يَزِيدُ فِي الغَنَائِمِ وَالمَوَارِيثِ
“Praktek dari kandungan hadits ini menurut sebagian ulama adalah bahwa mereka tidak mempermasalahkan jual beli lelang dalam harta rampasan perang (ghanimah) dan warisan.” (Jami’ At-Tirmidzi, 3: 514)
Disebutkannya ghanimah dan warisan adalah untuk contoh, bukan dimaksudkan untuk membatasi jual beli lelang hanya boleh untuk dua jenis harta (barang) tersebut saja.
Al-Mubarakfuri rahimahullah mengatakan,
حكى البخاري عن عطاء أنه قال أدركت الناس لا يرون بأسا في بيع المغانم في من يزيد
“Al-Bukhari mengutip dari ‘Atha bin Abi Rabah (ulama tabi’in) bahwa beliau berkata, “Aku menjumpai manusia (yaitu sahabat) yang tidak mempermasalahkan jual beli ghanimah kepada orang yang ingin menambah harga (yaitu dengan sistem lelang, pent.)”.” (Tuhfatul Ahwadzi, 4: 343)
Al-Mubarakfuri juga mengutip keterangan An-Nawawi rahimahullah yang mengatakan,
هذا ليس بسوم لأن السوم هو أن يقف الراغب والبائع على البيع ولم يعقداه فيقول الآخر للبائع أنا أشتريه وهذا حرام بعد استقرار الثمن وأما السوم بالسلعة التي تباع لمن يزيد فليس بحرام
“Ini (jual beli lelang) bukanlah termasuk menawar barang (yang sudah ditawar orang lain, dan perbuatan ini terlarang, pent.). Karena penawaran ini dalam bentuk seseorang yang ingin membeli barang dan penjual bertemu dan mereka belum bersepakat dengan harga barang, lalu ada orang lain lagi yang berkata kepada penjual, “Aku membelinya (dengan harga sekian, pent.)”. Tindakan ini diharamkan jika sudah terdapat kesepakatan harga (antara penjual dan calon pembeli sebelumnya, pent.). Adapun penawaran barang yang akan dijual kepada peserta lelang, maka ini tidak haram.” (Tuhfatul Ahwadzi, 4: 343)
Buka juga :
إرسال تعليق
Silahkan berkomentar